Yang paling berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya, yang mengetahui hukum-hukum shalat. Kalau kemampuannya setara, maka dipilih yang paling dalam ilmu fiqhnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka dipilih yang paling dulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka dipilih yang lebih dulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits berikut,
Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ
كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ
كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا
فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ
الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى
تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Dari Abu mas’ud Uqbah bin Amru Al Anshari Radhiallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Yang
mengimami sebuah kaum adalah orang yang paling bisa membaca (aqra’) Al
Qur’an. Jika mereka sama dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang mengimami
adalah orang yang lebih tahu tentang as sunah. Jika mereka sama dalam
hal as sunah, maka yang mengimami adalah orang yang lebih dahulu hijrah.
Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah
yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seorang (tamu) mengimami orang
lain (tuan rumah dll) yang berkuasa (di rumahnya, di masjidnya, di
majlisnya dll-edt), dan janganlah seorang (tamu) duduk di kursi yang
dikhususkan untuk tuan rumah kecuali bila tuan rumah mengizinkannya”. (HR. Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqu Bil Imamah)
Dalam lafazh yang lain,
فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا
“ …Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang mengimami adalah yang lebih tua usianya”. (HR. Muslim)
عن عطاء قال : يؤم القوم أفقههم
Dari ‘Atha’ berkata: “Hendaklah yang mengimami sebuah kaum adalah orang yang paling faqih”. [Mushonnaf Ibni Abi Syaibah]
Berdasar beberapa hadits ini, para ulama menyebutkan urutan orang yang lebih berhak menjadi imam shalat adalah sebagai berikut:
1. Al Aqra’ Bil Quran
Para ulama berbeda pendapat tentang
maksud dari Al Aqra’ bil Qur’an, apakah orang yang lebih banyak
hafalannya ataukah orang yang lebih bagus bacaannya.
Pendapat yang menyatakan bahwa orang
yang hafal ayat-ayat Al Qur’an lebih banyak, didahulukan atas orang
lain, sekalipun atas orang yang lebih bagus bacaannya merupakan pendapat
imam Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauri, Ishaq bin rahawaih, Abu Yusuf dan
Ibnu Mundzir. Pendapat ini juga diikuti oleh sebagian ulama madzhab
Syafi’i dan Hambali. Di antara ulama kontemporer yang berpegang dengan
pendapat ini adalah syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin.
Pendapat ini berdasarkan hadits ’Amr bin Salamah Radhiallaahu Anhu,
عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ
قَالَ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَضَرَتِ
الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا.
فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ
أَتَلَقَّى مِنَ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا
ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Dari Amru bin Salamah bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya.
Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak
ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan
aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku
pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal
saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun”. (HR. Bukhari Kitab Al Maghazi, Abu Dawud Kitab As Shalah. An Nasa’i Kitab Al-Adzan. Ahmad)
Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu Anhu,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Jika kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan shalat berjama’ah) maka hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’) menjadi imam”. (HR. Muslim)
Ada juga yang berpendapat bahwa
maksudnya adalah yang paling bagus tajwid-nya dan paling bagus mutu
bacaannya (أجودهم وأحسنهم وأتقنهم قراءة). Ini adalah pendapat madzhab
Maliki, sebagian besar madzhab Syafi’i dan banyak ulama madzhab Hanbali.
Namun pendapat pertama lah yang lebih kuat berdasarkan kedua hadits di
atas.
Akan tetapi jika mereka sama dalam
hafalan Al-Qur’annya dimana seluruh orang yang shalat atau orang yang
akan dimajukan sebagai imam telah hafal Al-Qur’an, baru dipilih mana
yang paling mantap (كان أتقنهم قراءة وأضبط لها) dan bagus bacaannya.
Karena itulah arti yang paling bagus Al-Qur’annya bagi mereka semua yang
dalam hafalan sama. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, dan Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani)
Berbeda lagi bagi mereka yang
memahaminya secara makna ‘tersirat’. Maka ‘Al-Aqra’ pada hadits
mengindikasikan mereka yag faham fiqih. Dan ini yang dilakukan oleh Imam
Malik dan Syafi’i.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
pendapat-pendapat tersebut, karena pada dasarnya, dulunya mereka yang
bagus bacaan Al-Qur’annya itu adalah mereka paling faham fiqihnya, pun
begitu sebaliknya, mereka yang bagus fiqihnya bagus juga bacaan dan
hafalan Al-Qur’annya.
Akan tetapi sekarang kita lebih
membutuhkan yang mana? Melihat bahwa kenyataannya mereka yang bagus
serta punya banyak hafalan Al-Qurannya tidak selamanya mereka juga faham
fiqih, pun begitu sebaliknya sekarang ini, mereka yang faham fiqih
tidak selamanya punya bacaan bagus dan banyak hafalannya.
Pilih mana? Yang bagus bacaan dan banyak
hafalan Al-Qur’annya, atau yang paling faham tentang urusan fiqih? Yang
jelas mereka yang mempunyai keduanya sangat kita tunggu kehadirannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu mengatakan,
”ولا يخفى أن محل تقديم الأقرأ
إنما هو حيث يكون عارفًا بما يتعين معرفته من أحوال الصلاة، فأما إذا كان
جاهلاً بذلك فلا يقدم اتفاقاً“
“Sudah jelas bahwa dikedepankannya
orang-orang yang paling pandai bacaan Al-Qur’annya berarti ia juga orang
yang paling mengerti kondisi shalatnya sendiri. Namun kalau ternyata
tidak mengerti kondisi shalatnya, secara mufakat dikatakan bahwa ia
tidak berhak dikedepankan”. [Fathul-Bari) (Lihat Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’, dan Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu ’Utsaimin)
2. Orang Yang Lebih Mengerti Tentang Sunnah
Para ulama telah bersepakat bahwa orang
yang lebih hafal Al Qur’an (aqra’ li kitabillah) dan orang yang lebih
paham as sunah (afqah) lebih berhak menjadi imam, melebihi orang-orang
lain. Apabila terjadi, ada beberapa orang yang sama bagus dalam hafalan
dan bacaan Al Qur’annya, maka dilihat pemahamannya tentang sunnah
diantara mereka. Maka dalam hal ini, orang yang lebih paham dan
mengetahui tentang sunnah hendaknya lebih diutamakan berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ .
“Jika mereka sama dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang mengimami adalah orang yang lebih tahu tentang as sunah”.
3. Orang Yang Lebih Dahulu Berhijrah Dari Negeri Kafir Ke Negeri Islam
Hijrah dalam hal ini, tidak hanya
dibatasi dengan hijrah yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam namun juga berlaku bagi hijrahnya seseorang yang
berhijrah dalam rangka ketaatan untuk menyelamatkan agamanya dari negeri
kafir ke negeri Islam.
4. Orang Yang Lebih Dahulu Masuk Islam
Hal ini terjadi jika ketiga urutan di
atas masih sepadan. Kemudian dilihat siapa yang lebih dahulu masuk Islam
jika sebelumnya dia bukan pemeluk agama Islam.
5. Orang Yang Lebih Tua Usianya
Jika keempat syarat di atas masih juga
seimbang maka yang terakhir adalah mempertimbangkan faktor usia
berdasarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً –
وفي رواية – سنّاً . Dalam riwayat lain disebutkan dengan kata سنّاً
yaitu usianya bukan dengan lafadz سلماً (Islam).
Kemudian sekiranya terjadi keseimbangan
dan kesamaan dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka yang
dilakukan adalah dengan mengundi. Siapa yang menang dalam undian
tersebut maka hendaknya dia menjadi imam.
Perlu Kita Renungkan
Sementara di sebagian masyarakat kita,
bila imam utama berhalangan dan akan ditunjuk imam pengganti, biasanya
akan ditunjuk orang yang paling tua karena dianggap yang paling
mengetahui dan mumpuni soal agama meskipun dari sisi bacaan terkadang
tidak betul dan kurang berhati-hati. Panjang pendek tidak terkontrol,
kapan berhenti dan kapan disambung tidak dipedulikan, bahkan membacanya
dengan tergesa-gesa pun tidak menjadi soal. Bahkan yang lebih ironis
adalah bila dipilih karena derajat, kedudukan maupun status sosial di
masyarakat. Entah itu karena dia menjadi dukuh atau ditokohkan di
masyarakat termasuk hanya karena sudah berhaji.
Padahal menurut hadits di atas bahwa
orang yang mempunyai bacaan bagus harus lebih diutamakan, tidak perlu
memandang apakah dia masih muda atau sudah tua, berhaji atau belum.
Karena berhaji tidak bisa diqiyaskan dengan berhijrah. Sehingga tidak
dibenarkan bila ada yang berucap “Pak Haji saja yang sudah genap rukun
islamnya…”. Tetap urutan yang digunakan adalah sesuai hadits tersebut di
muka.
Kemudian, juga jangan menjadi imam bila
kita sedang berada di luar wilayah kita (kita sebagai tamu) tanpa seijin
tuan rumah. Boleh jadi bacaan kita lebih baik, namun hak utama menjadi
imam adalah sang tuan rumah. Kecuali kalau memang diijinkan oleh tuan
rumah maka tidaklah mengapa kita menjadi imam. Berdasarkan hadits
berikut,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قال رَسُولُ الله صَلَّى اللَه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ،
وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ (رواه
مسلم)
Dari Abu Mas’ud Al Anshary Radhiallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Seseorang
tidak boleh menjadi imam di dalam keluarga seseorang atau didalam
kekuasanya dan tidak boleh duduk di majlisnya kecuali dengan seizinnya”. (HR Muslim)
Cara di atas adalah cara memilih imam
(tetap) yang baik dan benar secara syari’at, namun bila telah terpilih
imam tetap di daerahnya, maka urutannya sebagai berikut:
- Imam tetap suatu masjid
- Tuan rumah (misal shalat jamaah di rumah karena ada udzur, karena pemilik rumah lebih utama daripada tamu, meski tamu lebih bagus bacaannya)
- Yang bacaannya paling baik
- Yang paling mengerti sunnah
- Yang lebih dahulu hijrah
- Yang lebih dahulu masuk islam
- Yang lebih tua.
Oleh karena itu sebaiknya seorang takmir
masjid, dan sang calon imam mengetahui hal ini karena dalam islam
kualitas lebih didahulukan daripada usia.
Siapa Yang Sah Menjadi Imam
Semua orang yang sah shalatnya, ia dapat
menjadi imam atau sah menjadi imam shalat. Namun ada orang-orang yang
dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka
sah menjadi imam, diantaranya:
- Anak Kecil Yang Mumayyiz
Batas jenjang usia anak yang telah
mencapai usia tamyiz disebut mumayyiz. Diantara ciri anak yang mumayyiz:
dia bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, dia sudah
merasa malu ketika tidak menutup aurat, dia mengerti shalat harus
serius, dan sebagainya yang menunjukkan fungsi akalnya normal. Umumnya,
seorang anak menjadi mumayiz ketika berusia 7 tahun.
Sedangkan batas baligh adalah batas
dimana seorang anak telah dianggap dewasa oleh syariat, dan berkewajiban
untuk melaksanakan beban syariat. Tidak ada batas usia baku untuk
baligh, karena batas baligh kembali pada ciri fisik. Untuk laki-laki:
telah mimpi basah, dan untuk wanita: telah mengalami haid. Untuk
laki-laki, umumnya di usia 15 tahun. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah)
Bagaimana hukum anak mumayyiz menjadi imam shalat jamaah, sementara makmumnya orang yang sudah baligh.
Para ulama membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah. Berikut rincian yang disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,
- Mayoritas ulama (hanafiyah, malikiyah, dan hambali) berpendapat bahwa diantara syarat sah menjadi imam untuk shalat wajib, imam harus sudah baligh. Karena itu, anak mumayiz tidak bisa menjadi imam bagi makmumyang sudah baligh.
- Untuk shalat sunah, seperti shalat taraweh, atau shalat gerhana, mayoritas ulama (Malikiyah, Syafiiyah, hambali, dan sebagian hanafiyah) membolehkan seorang anak mumayiz untuk menjadi imam bagi orang yang sudah baligh.
- Pendapat yang kuat dalam madzhab hanafiyah, anak mumayiz tidak boleh jadi imam bagi orang baligh secara mutlak, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah.
- Sementara Syafi’iyah berpendapat, anak mumayiz boleh menjadi imam bagi orang baligh, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah. Terutama ketika anak mumayyiz ini lebih banyak hafalan Al-Qurannya, dan lebih bagus gerakan shalatnya dibandingkan jamaahnya yang sudah baligh.
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
إِلَى صِحَّة إِمَامَة
الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق ,
وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد
رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ
الْفَرَائِض
Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz)
yang menjadi imam merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan
Ishaq bin Rahuyah. Sementara Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya.
Sementara ada dua riwayat keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad),
anak kecil sah jadi imam untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib. (Fathul Bari)
Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam
hal ini adalah pendapat Imam As-Syafii, bahwa tidak dipersyaratkan imam
shalat harus sudah baligh. Anak kecil yang sudah tamyiz, memahami cara
shalat yang benar, bisa jadi imam bagi makmum yang sudah baligh. Dalil
mengenai hal ini adalah hadis dari Amr bin Salamah Radhiallahu Anhuma di
atas.
- Orang Buta
Orang buta memiliki kedudukan yang sama
dengan orang yang melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal
ini berdasarkan pada hadits Mahmud bin Ar-Rabi’:
“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik dahulu mengimami shalat kaumnya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan pernyataan ‘Aisyah Radhiallahu Anhu,
“Ibnu Umi Maktum dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah mengimami
shalat penduduknya”. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, bahwa hadits ini shahih li ghoirihi).
Bahkan setelah dihitung-hitung tugas
keimaman Ibnu Ummi Maktum telah mecapai tiga belas kali. Itu menjadi
dalil-dalil sahnya keimamn orang buta tanpa ada nilai kemakruhan.
- Keimaman Orang Yang Tayamum
Orang yang bertayamum sah menjadi imam
bagi orang yang wudhu, karena Amr bin Al Ash pernah shalat dengan anak
buahnya dalam keadaan tayamum, sedangkan anak buahnya dalam keadaan
wudhu. Hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah, namun beliau tidak
memungkirinya. (Diriwayatkan Abu Dawud, hadits shahih)
- Keimaman Musafir Dan Muqim Menjadi Makmum
Musafir sah menjadi imam. Hanya saja
jika orang mukim (penduduk setempat) shalat di belakang musafir, ia
harus menyempurnakan shalatnya setelah imam musafir tersebut, sebab
Rasulullah shalat bersama orang-orang Mekkah sebagai seorang musafir dan
bersabda kepada mereka, ”Hai orang-orang Mekkah, sempurnakan shalat kalian, karena kita orang-orang musafir”. (HR. Malik)
Jika seorang musafir shalat di belakang
orang mukim, ia sempurnakan shalat bersamanya, karena Ibnu Abbas
Radhiallahu Anhuma pernah ditanya tentang menyempurnakan shalat di
belakang orang mukim, maka ia menjawab, ”Itu sunnah Abu Al Qasim (Rasulullah)”. (Diriwayatkan Ahmad dan asalnya ada shahih Muslim)
- Keimaman Orang Yang di Bawah Standar
Orang di bawah standar sah menjadi imam
kendati orang yang memiliki standar keimanan ada di tempat, karena
Rasulullah saw pernah shalat di belakang Abu Bakar, dan Abdurrahman bin
Auf, padahal beliau lebih mulia daripada keduanya, bahkan dari semua
manusia”. (Diriwayatkan Al Bukhari)
- Orang Yang Shalat Wajib Tetapi Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Sunnah Begitu Juga Sebaliknya
Shalat Sunnah dibelakang Imam Shalat Wajib
Hadits Yazid bin Al-Aswad yang
menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sedang
dalam hajinya. Dan pada waktu subuh Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
beserta para sahabat melaksanakan shalat Subuh di Masjid Khaif. Setelah
melakukan shalat, Nabi melihat ada dua orang yang hanya berdiri di depan
masjid tanpa mengikuti shalat berjamaah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan agar 2 orang tadi dihadapkan kepada beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Setelah menghadap Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bertanya: “Apa yang menyebabkan kalian tidak ikut berjamaah dengan
kami?”. Salah satu dari 2 orang itu menjawab: “Kami telah melaksanakan
shalat dirumah kami, wahai Rasul!”.
Kemudian Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab,
فَلَا تَفْعَلَا إِذَا
صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ
فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَة
“Jangan kau seperti itu lagi! Jika
kalian telah shalat dirumah kalian masing-masing kemudian kalian
mendatangi masjid dan melihat ada shalat Jamaah, shalatlah kalian
bersama mereka!” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Hadits diatas jelas sekali menunjukkan
bahwa shalat yang dilakukan itu ialah bukan shalat wajib karena telah
dilakukan sebelumnya, akan tetapi itu menjadi shalat sunnah. Dan rasul
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka ikut kembali
shalat berjamaah, itu berarti boleh shalat Sunnah dibelakang Imam yang
shalat fardhu.
Shalat Wajib dibelakang Imam Shalat Sunnah
Hadits Abu Bakrah Radhiallahu Anha
tentang salah satu cara lain shalat Khauf yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam melaksanakan shalat zuhur dalam keadaan khauf (peperangan),
kemudian para sahabat membagi barisan menjadi 2 kelompok. Satu kelompok
shalat bersama Rasul dan yang lain berjaga-jaga.
Nabi melaksanakan shalat bersama
Kelompok pertama sebanyak 2 rakaat kemudian salam. Lalu masuklah
kelompok yang tadi berjaga-jaga untuk shalat bersama Rasul Shallallahu
Alaihi Wasallam. Berjamaah 2 rakaat kemudian salam. (HR. Abu Dawud)
Imam Syafi’i dalam Kitabnya Al-Umm
menyebutkan bahwa: 2 rakaat terakhir Nabi adalah sunnah dan yang pertama
wajib. Jadi kelompok kedua yang shalat bersama Nabi itu shalat wajib
sedangkan Imam mereka yakni Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
melaksanakan Shalat Sunnah. (Al-Umm)
Kesimpulannya, bahwa perbedaan niat
antara Imam dan makmum tidak membuat shalatnya terganggu atau batal,
baik Imam ataupu makmum sah-sah saja shalat dengan niat yang berbeda.
Jadi tidak ada masalah jika kita shalat fardhu tetapi bermakmum kepada
orang yang sedang shalat sunnah, seperti shalat isya bermakmum dengan
Imam tarawih. Atau juga sebaliknya, shalat Sunnah tetapi bermakmum kepda
Imam shalat Fardhu.
- Sahnya Shalat Orang Yang Shalat Berdiri Bermakmum Kepada Imam Yang Shalat Sambil Duduk
Para ulama berbeda pendapat tentang
bolehnya orang yang shalat berdiri bermakmum kepada imam yang shalat
sambil duduk. Sebagian berpendapat boleh dan sebagian berpendapat tidak
boleh.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata,
Secara global para ulama berpendapat
bahwa semua orang sehat tidak boleh melaksanakan shalat fardhu sambil
duduk, baik sendirian maupun sebagai imam jamaah. Pendirian ini
berdasarkan firman Allah,
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) dengan patuh (khusyuk)”. (Al-Baqarah: 238)
Kalangan ulama berbeda pendirian
mengenai makmum yang sehat di belakang imam yang shalat duduk lantaran
sakit. Perbedaan ini terbagi menjadi 3 kelompok:
- Makmum boleh shalat duduk di belakang imam yang shalat duduk karena sakit. Pendapat ini dipegangi oleh Ahmad dan Ishak.
- Makmum shalat berdiri di belakang imam yang shalat duduk itu boleh. Ibnu Abdil Barr mengemukakan bahwa pendirian ini menjadi pedoman para fuqaha Anshor, diantaranya Syafi’I dan pengikutnya, Ahli Zhahir, Abu Tsaur, dan lain-lain.Mereka juga memberikan tambahan bahwa makmum yang shalat berdiri kendati imam shalat dengan duduk, bahkan tidak kuasa rukuk atau sujud, atau hanya bias melakukan dengan isyarat, itu boleh.
- Imam tidak boleh shalat dengan duduk. Ini pendirian dari Ibnu Qasim. Makmum yang sehat di belakang imam yang shalat duduk, baik makmum itu shalat berdiri atau duduk, shalatnya batal (tidak sah). Diriwayatkan dari Malik bahwa makmum hendaknya mengulangi shalat pada waktu yang bersangkutan. Karena shalat seperti itu bagi makmum makruh, bukan haram.
Dari ketiga pendirian itu, pendapat
pertama adalah yang paling dikenal. Penyebab timbulnya silang pendapat
ini adalah karena ada bermacam-macam hadits mengenai hal tersebut,
diantaranya adalah;
Pertama, hadits riwayat Anas Radhiallahu Anhu, yaitu:
Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Apabila imam shalat sambil duduk hendaklah (juga) shalat dengan duduk”. (HR. Abu Dawud)
Hadits yang hampir sama dari Aisyah Radhiallahu Anha,
“Bahwa beliau Shallallaahu Alaihi
Wasallam shalat dalam keadaan sakit sambil duduk, dan di belakang beliau
shalat pula (sebagai makmum) suatu kaum sambil berdiri. Lalu Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepada mereka agar duduk.
Seusai shalat beliau mengatakan, ‘Bahwa dijadikan imam itu hanyalah
untuk diikuti, sehingga apabila imam ruku’, maka ruku’lah kalian, adan
apabila imam bangkit, maka bangkitlah kalian. Dan apabila imam shalat
sambil duduk, maka shalatlah kalian juga dengan duduk”. (HR. Ahmad)
Kedua, dari Aisyah Radhiallahu Anha,
Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam keluar rumah pada waktu beliau menderita yang mengantarkan pada
wafatnya. Lalu beliau mendatangi masjid, dan beliau bertemu Abu Bakar
sedang shalat sambil berdiri (sebagai imam) bersama khalayak. Kemudian
Abu Bakar mundur, lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi
isyarat padanya agar seperti yang ada (tidak berubah). Lalu Rasulullah
Shallallaahu Alaihi Wasallam duduk di sebelah Abu Bakar, maka Abu Bakar
mengikuti shalat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan khalayak
mengikuti shalat Abu Bakar”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata,
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa
makmum harus mengikuti cara imam dalam shalatnya, yaitu bila imam
mengerjakannya sambil duduk maka makmum pun harus mengerjakannya sambil
duduk, walaupun saat itu makmum sedang tidak ada udzur untuk
melakukannya dengan duduk. Sedangkan, golongan yang berbeda pendapat
dengan mereka menjawab hadits di atas dengan berbagai jawaban,
diantaranya: Bahwa hukumnya itu sudah dihapus, karena ketika Nabi
Shallallaahu Alaihi Wasallam sakit (yang akhirnya wafat) shalat
mengimami orang-orang sambil duduk sedangkan mereka berdiri. Namun Imam
Ahmad mengingkari penghapusan hukum ini, kemudian menggabungkan antara
kedua hadits tersebut dengan dua kesimpulan;
Pertama, bila imam yang biasanya
(yakni imam rawatib) mengawali shalatnya sambil duduk karena sakit yang
memungkinkan sembuhnya, maka para makmum pun shalat di belakangnya
sambil duduk. Kedua, Bila imam yang biasanya mengawali shalatnya
sambil berdiri, maka para makmum yang shalat di belakangnya pun harus
shalat sambil berdiri, baik dalam melanjutkan shalatnya itu imam
melakukannya sambil berdiri maupun sambil duduk. Penggabungan kedua
hadits ini telah menguatkan, bahwa tidak ada penghapusan hukum
(sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian orang). [Nailul Authar]
Wallahu Ta’ala A’lam
Sumber: http://darussalam-online.com/siapakah-yang-lebih-berhak-dan-sah-menjadi-imam/
No comments:
Post a Comment